Harga Batu Bara Stabil namun Tetap Rapuh, Impor Tiongkok dan India Melemah
- Kontrak berjangka batu bara Newcastle untuk Mei 2025 ditutup stabil di USD 99/ton pada 14 April, meskipun sempat menyentuh USD 99,25/ton.
- Impor batu bara Tiongkok turun 6% di Maret 2025, sementara India mencatat penurunan 1,4% selama April-Februari, dipicu tingginya stok dan lemahnya permintaan.
- Harga batu bara melemah di berbagai kawasan, termasuk Afrika Selatan, Indonesia, dan Eropa, dipengaruhi oleh harga energi lain yang menurun.
Harga kontrak berjangka batu bara ICE Newcastle untuk pengiriman Mei 2025 (LQK25) diperdagangkan stabil pada 14 April, ditutup di level USD 99 per ton, setelah sempat menyentuh puncak harian di USD 99,25 per ton.
Penurunan permintaan dari dua negara konsumen batu bara terbesar, Tiongkok dan India, menjadi salah satu faktor utama di balik pergerakan harga. Mengutip laporan Reuters, impor batu bara Tiongkok pada Maret 2025 merosot sebanyak 6% menjadi 38,73 juta ton. Penurunan ini terjadi akibat melimpahnya stok di pelabuhan serta lemahnya konsumsi dalam negeri, yang menekan harga spot ke level terendah dalam empat tahun terakhir.
Kendati periode Januari–Februari mencatatkan rekor impor 76,12 juta ton, tekanan diprakirakan masih akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang. Di tengah harga domestik yang juga terpuruk sejak Maret 2021, para penambang Indonesia belum melakukan penyesuaian harga, memicu peralihan konsumsi ke pasokan dalam negeri oleh pembangkit listrik di Tiongkok. Secara kumulatif, total impor batu bara Tiongkok dalam tiga bulan pertama 2025 tercatat 114,85 juta ton, menyusut 0,9% secara tahunan.
Selain itu, laporan dari ETEnergyWorld menyebutkan bahwa India juga mengalami penurunan impor batu bara. Sepanjang April–Februari tahun fiskal 2025, volume impor turun 1,4% menjadi 240,77 juta ton, dipicu tingginya cadangan nasional. Penurunan terjadi pada dua kategori utama: batu bara kokas dan nonkokas. Pada Februari 2025, impor bahkan turun tajam 15,3% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 18,1 juta ton. Sebaliknya, produksi dalam negeri melonjak ke 928,95 juta ton, sejalan dengan upaya pemerintah memperkuat ketahanan energi dan efisiensi rantai pasok.
Sementara itu, TheCoalHub dalam risetnya sepekan lalu menyebutkan, di pasar Eropa, harga batu bara termal terus melemah, turun ke kisaran USD 103-104 per ton seiring dengan jatuhnya harga gas dan minyak, peningkatan tarif impor AS, serta berakhirnya musim dingin. Harga gas alam di pusat perdagangan TTF tercatat menyusut signifikan menjadi USD 380,98 per 1.000 m³, sementara cadangan gas Eropa saat ini berada di level 34%.
Di Afrika Selatan, harga batu bara kalori tinggi (High-CV) melemah di bawah USD 89 per ton, sementara harga batu bara kalori sedang (Mid-CV) justru menguat karena lonjakan permintaan dari produsen besi spons India. Beberapa penambang kecil menghentikan ekspor akibat tekanan harga, menyebabkan akumulasi utang, seperti yang dialami oleh Minergy.
Pasar domestik Tiongkok menunjukkan harga batu bara 5.500 NAR stabil di kisaran USD 93-94 per ton, di tengah ketegangan dagang dengan AS. Dukungan datang dari turunnya persediaan dan ekspektasi stimulus ekonomi dari pemerintah. Namun, masih terdapat ketegangan kontrak jangka panjang antara pembangkit dan pemasok batu bara lokal.
Dari sisi Indonesia, harga batu bara terus melemah. Harga batu bara 5.900 GAR turun menjadi USD 83 per ton, sedangkan 4.200 GAR terperosok ke level USD 48,95 per ton, dipicu rendahnya permintaan dan aktivitas perdagangan yang minim saat libur Idul Fitri. Harga batu bara Australia High-CV 6.000 juga ikut turun di bawah USD 95 per ton. Namun, harga batu bara metalurgi (HCC) Australia justru naik ke USD 177 per ton karena gangguan pasokan usai sejumlah kecelakaan tambang.
Pemerintah Queensland, Australia, dikabarkan tengah mengkaji ulang target emisi gas rumah kaca, yang berpotensi memperpanjang masa operasional pembangkit batu bara, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.